Islamophobia adalah term yang mengarah pada ketakutan berlebihan
terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam. Tentu saja premis ini
tidak muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor yang melatar belakangi munculnya
Islamophobia.
Seperti yang diungkapkan oleh Syarif Abdurrahman dalam laman
jatimplus.id pada Desember lalu seputar Islamophobia. Ia menyebut bahwa setiap
peristiwa yang menyebut Islamophobia memiliki latar permasalahan yang berbeda.
Namun, jelasnya yang tidak akan tertinggal adalah sebutan terosisme, radikal,
dan konservatif.
Abdurrahman mencontohkan tragedi pembunuhan yang mengatasnamakan
terorisme Islam di Amerika Serikat. Apapun masalahnya, jika itu berkaitan
dengan pembunuhan misterius, maka Islam selalu kena imbasnya. Padahal, setelah
diusut tidak ada kontribusi Islam dalam pembunuhan di Amerika tersebut.
Peristiwa lainnya adalah Israel dan Palestina. Amerika jelas saja
membela Israel karena mereka bekerjasama untuk itu. Apapun yang terjadi antara
kedua belah pihak yang berperang itu, Amerika tidak akan segan membela
habis-habisan pihak Israel. Bahkan untuk membuktikannya, Amerika telah membunuh
beribu-ribu penduduk Palestina.
Di Indonesia, yang bahkan mayoritasnya Islam saja, juga marak
Islamophobia. Sebut saja peristiwa pembunuhan di Bali yang mengatasnamakan
terorisme Islam. Sontak saja hal ini telah memicu racun pada masyarakat Bali
tentang Islam.
Hal serupa juga sempat dimuat dalam laman republika.co.id pada Mei
2015. Bedanya, dari pihak Islam sendiri telah mengklarifikasi bahwa segala hal
yang berkaitan dengan keburukan Islam adalah suatu ketidakbenaran. Islam
berusaha untuk bangkit secara multisektoral, namun itu menjadi ketakutan bagi
pihak pesaing. Inilah yang sering direduksi sebagai tindakan radikal umat Islam
dan seakan-akan revolusi yang dilakukan oleh Islam adalah pemicu Islamophobia.
Namun, di sisi lain juga tidak menampik kemungkinan bahwa dari
pihak Islam juga sebagai pemicu munculnya Islamophobia. Seperti yang sempat
dilansir oleh Abi Abdul Jabar dalam laman madaninews.id pada April 2018 lalu.
Ia menyebut bahwa muslim yang terlalu fanatik dan menganggap tidak ada
kenenaran mutlak selain Islam, terkadang malah membahayakan.
Hal tersebut bukan semata-mata cinta kepada agamanya, melainkan
keras pada organisasinya. Dengan semangatnya yang berlebihan, ajarannya yang
tidak toleran, yang dianggapnya sesuai dengan Islam, tapi nyatanya malah
menyimpang dari Islam. Muslim yang semacam inilah yang membuat nama Islam
menjadi keruh.
Peristiwa-peristiwa di atas membuat kita sadar bahwa problematika
tentang Islamophobia bukanlah masalah sepele. Ia seperti dua sisi mata koin,
yang mana ada dua perspektif yang perlu digali dari problematika ini. Seperti
dari perspektif intern (pihak dalam atau masyarakat Islam) dan perspektif
ekstern (pihak di luar Islam).
Pertama, Islamophobia dari perspektif intern. Kebanyakan orang
Islam (muslim) pasti akan menganggap agamanya sebagai agama yang benar. Namun,
bukan berarti kalian bisa menganggap agama lain sebagai agama yang salah.
Premis itulah yang akan membuat paradigma Islam menjadi pro dan
kontra. Ada pihak yang bersikukuh bahwa Islam itu mutlak kebenarannya sehingga
tidak dapat digangu gugat segala dalilnya. Di sisi lain, ada pihak yang santai
dengan Keislamannya dan cenderung moderat dalam problematika Keislaman.
Kita akan intip pihak yang konservatif dulu. Pihak ini begitu
sangat bangga terhadap Islam. Segala hal yang tidak mencerminkan nilai-nilai
Keislaman maka patut untuk ditindak atau bahkan diberi sanksi yang berat.
Karena yang dipikirannya hanya Islam yang tegas terhadap segala bentuk
kesalahan.
Inilah yang menyebabkan timbulnya Islamophobia. Islam acap kali
dinilai sebagai agama yang tidak bisa mentolelir kesalahan. Pihak luar pasti
akan ketakutan akan ajaran-ajaran yang dinilai keras ini.
Padahal, dalam kitab sucinya, Alquran, menyebut bahwa Islam adalah
agama yang penuh kasih, toleran, moderat, demokratis, dan fleksibel. Namun,
rupanya ada beberapa muslim yang terlalu kaku terhadap tafsir-tafsir Alquran.
Maka dari itu, sebelum kita melabeli orang-orang di luaran sana
dengan kekonyolannya karena ke-islamophobia-nya, kita perlu sadar diri.
Perbaiki intern Islam dengan memperkaya wawasan dan open minded. Tidak semua
permasalahan bersumber dari pihak luar.
Seperti yang dilansir dalam laman madaninews.id, kita perlu
melakukan aksi pasti terhadap Islamophobia. Caranya adalah dengan menunjukkan
eksistensi positif Islam kepada masyarakat luas. Bisa dengan cara kajian
moderat, pengajian, pendidikan kritis, musyawarah, bertutur kata yang baik, dan
peka.
Kedua, Islamophobia dari perspektif ekstern. Pihak luar sering
kali memandang Islam dengan sebelah mata. Mereka mudah percaya begitu saja
tentang hal-hal negatif dari Islam tanpa mengkajinya terlebih dahulu.
Seperti permasalahan yang terjadi di pihak intern, mereka yang
kolot dan tidak fleksibel adalah mereka yang kurang mengkaji lebih tentang
Islam. Hal ini juga terjadi pada pihak luar yang mudah percaya begitu saja
tanpa telaah kritis.
Dalam laman jatimplus.id menyatakan bahwa Islamophobia sedang
ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan tersembunyi. Sebut saja kekuasaan yang
dimiliki oleh negara adikuasa. Jangan heran jika negara juga punya andil besar
dalam penyuburan Islamophobia.
Misalnya saja Amerika Serikat dengan kuasanya dapat menyebarkan
isu tentang Islam. Seperti pada kasus Israel dan Palestina. Amerika bisa saja
mendukung Palestina dengan kekuasaannya. Namun, karena Amerika pro terhadap
Israel, sekalipun kebenaran ada di pihak Palestina, kebenaran akan menjadi
milik Amerika dan Israel selaku pemilik kuasa.
Selain itu, persaingan dalam multisektoral juga mempengaruhi
tumbuh suburnya Islamophobia. Seharusnya persaingan bisa dilawan dengan hal
yang sama. Misalnya, industri muslim lebih maju dari pada industri di Barat.
Topiknya adalah persaingan industrinya, bukan aktornya. Jadi usaha yang perlu
dilakukan adalah peningkatan kualitas industrinya, bukan rasa persaingan
terhadap agamanya.
Problematika itulah yang disebut sebagai ad hominem.
Permasalahannya terletak pada industri, namun yang kita serang adalah agama
aktor. Dari sini saja sudah jelas ketidakmasukakalannya, apalagi pengungkitan
tentang Islamophobia. Yang mana akan terlihat salah kaprah.
Oleh sebab itu, tidak cukup dari pihak intern saja yang berjuang
untuk mengatasi Islamophobia. Pihak ekstern juga harus ikut andil dalam
meminimalisir tumbuh suburnya Islamophobia. Mereka juga perlu mengedukasi diri
dan mencoba untuk open minded.
Secara garis besar, Islamophobia itu memang seperti dua sisi dalam mata koin. Ia memiliki perspektif yang berbeda untuk melihat dan menanganinya. Bagian terpentingnya adalah baik sebagai intern atau ekstern, kita perlu bergerak bersama-sama demi kedamaian bersama pula.
0 Comments