Halal lifestyle bukan lagi sesuatu yang asing di telinga masyarakat. Menurut
Hendri Hermawan dalam jurnal An-Nisbah, pamor tentang konsep halal
lifestyle telah melejit sejak empat belas abad lalu di Indonesia.
Hanya saja, setiap tahunnya akan ada pantikan baru tentangnya.
Hendri menyebut, halal lifestyle bermakna
perilaku atau gaya hidup yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam atau syariat
yang bertujuan untuk menjaga dan melindungi diri dalam mengonsumsi
barang-barang yang tidak halal (membahayakan). Term ini tidak dimaksudkan untuk
membatasi, apalagi memaksa manusia untuk menjalankan berbagai aturan ala Islam,
melainkan untuk mengenal lifestyle dari perspektif Islam.
Dengan ini, di dalamnya memuat unsur keselamatan, keamanan, kesehatan, dan
kemakmuran manusia.
Hendri mengutarakan bahwa halal lifestyle tidak
melulu dari, oleh, dan untuk Muslim saja. Konsumen, distributor, dan
produsennya bisa dari mana saja. Pun, dengan produknya, tidak hanya
berkutat di ranah pangan saja, melainkan dalam sandang, papan, obat, kosmetik,
transportasi, keuangan, dan produk elektronik.
Seperti yang dilansir dalam laman islampos.com, klaim
halal seolah-olah bukan lagi sebatas gaya hidup, melainkan menjadi kebutuhan
primer masyarakat. Tanpa klaim halal, segala produk dianggap berbahaya,
khususnya bagi masyarakat Muslim. Jadi, mau tidak mau harus ada label yang
bertengger dalam setiap produk yang dikonsumsi.
Sejalan dengan hal tersebut, dilansir pula dalam gatra.com,
halal lifestyle bukan hanya sekedar gaya hidup, melainkan sesuatu yang
perlu diapresiasi karena diyakini akan membawa keuntungan di dunia dan juga di
akhirat. Pasalnya, akan banyak produsen yang memroduksi produk halal, konsumen
akan tergiur untuk itu dan permintaan pasar akan semakin melejit. Walhasil,
perekonomian Islam akan melangit dan kesalehan semakin menunjukkan
parameternya.
Misal, masyarakat akan secara otomatis melabeli orang dengan
pakaian syari sebagai orang yang saleh. Sedangkan mereka yang berpakaian tidak
sesuai standar akan dilabeli sebagai orang yang belum atau tidak saleh. Ya,
parameternya adalah sesuatu yang dikenakannya.
Problematika semacam ini akan lebih seru jika dilihat dari
perspektif Sosiologi Islam. Artinya, akan ada dua pandangan perihal halal
lifestyle, yaitu dari perspektif sosiologi dan Islam. Dari sosiologi,
kita akan mengomparasikannya dengan Protestant Ethics and Spirit of
Capitalism (PESC) dari Max Weber. Meskipun Weber mengungkit Protestan,
tapi masalahnya tidak akan jauh beda dengan klaim halal lifestyle.
Dalam PESC, Weber menyebut kapital adalah kunci kemakmuran dunia
dan akhirat. Artinya, seseorang harus bekerja keras agar menjadi kaya (makmur
di dunia). Setelah kaya, maka mereka akan dapat klaim saleh (makmur di
akhirat).
Tidak beda jauh dengan halal lifestyle yang
tertengger di Indonesia. Masyarakat berlomba-lomba untuk memproduksi dan
mendapatkan produk halal. Di sinilah parameter saleh dinampakkan. Bagi mereka
yang tampak menggunakan produk halal, makan akan semakin tinggi pula derajat
kesalehannya. Sedangkan mereka yang sedikit atau bahkan tidak menggunakan
produk halal, maka minim pula derajat kesalehannya.
Kita ambil pakain sebagai contohnya. Perempuan berjubah,
berkerudung panjang, dan memakai cadar akan mudah mendapatkan klaim “muslimah
saleh”, dari pada perempuan yang tidak berkerudung. Pun halnya laki-laki,
mereka yang berjubah, sarung, memakai songket atau sorban akan dinilai lebih
“saleh”, dari pada mereka yang tampil dengan celana jeans-nya.
Dari kedua problematika itu, kita bisa menarik kesamaannya, yaitu
parameter kesalehan terletak pada sesuatu yang nampak. Kalau di PESC,
kapitalnya, maka di halal lifestyle, atributnya. Padahal,
kesalehan bertalian erat dengan hubungan makhluk dan penciptanya. Jadi, tidak
sesederhana itu masalahnya.
Seperti yang diungkapkan oleh Rudolf Otto, seorang teolog Jerman,
menyebut bahwa hubungan individu dengan Sang Pencipta seperti mysterius
tremendum and et facinant. Artinya, hubungan itu misterius, tidak
dapat didefinisikan, dan terdapat empati yang mengikat. Hanya individu itu
sendiri yang mampu merasakannya, bukan orang lain.
Dalam kasus halal lifestyle yang seharusnya
memang demi kebaikan diri, namun sekarang menjadi tereduksi menjadi parameter kesalehan.
Ia kehilangan esensi dari halal itu. Seolah-olah eksistensi dari halal
lifestyle adalah bukti kesalehan.
Pun dengan Islam. Ajaran-ajaran Islam (syariat) juga menuai pro
kontra. Pasalnya, beberapa Hadist telah mencantumkan standarisasi pakaian yang
halal atau syari. Namun, dalam penafsiran ayat-ayat suci, seperti dalam mubaadalah.id, misal,
perlu memperhatikan konteks dan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Ayat-ayat
suci tidak bisa dipahami secara sembrono. Oleh karenanya, perlu verifikasi
terlebih dahulu sebelum mengamini ayat-ayat suci.
Pada dasarnya, baik sosiologi maupun Islam, keduanya tidak bisa ditelaah secara sederhana. Akan ada perspektif-perspektif yang akan terus terbantahkan. Jadi yang perlu dilakukan adalah tetap waras dan terus kritis dalam menghadapi berbagai perubahan. Terlepas dari perspektif mana yang benar dan salah. Selama itu tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, maka perspektif itulah yang layak diimplementasikan.
0 Comments