by. Zidna Nabilah
Benarkah cinta itu buta? Membuat
seseorang hilang rasionalitasnya? Atau Menjerumuskan seseorang jatuh ke dalam
nafsunya? Aku rasa tidak bagi seorang “Karima”.
Novel
tentang cinta yang diselimuti dengan pemikiran filosofis ini, akan membawa siapapun
mengerti bagaimana kita bisa berfikir secara sederhana dan enteng dalam menyikapi berbagai hal tentang filsafat, agama juga
cinta. Sering kali orang-orang membuat berbagai perbedaan menjadi sesuatu yang
harus ditonjolkan lebih dulu.
Namun dengan membaca buku ini, membuka mata kita
untuk menerima persamaan lebih dulu agar bisa bijaksana menyikapi perbedaan
yang ada. Memanfaatkan akal yang telah dianugerahkan oleh Tuhan, dan juga
memahami batasan maupun keterbatasan manusia.
Novel
ini menceritakan sosok wanita sederhana yang mampu memegang erat prinsip yang
telah ia dapatkan dari pemikirannya mengenai filsafat. Dialah Karima, keponakan
dari Kiai Hadziqa Faqih yang merupakan pendiri pondok pesantren Nurul Azhar dan
Kampus Akademos.
Dari sang Kiai lah, Karima belajar banyak hal mengenai
filsafat dan agama. Bahkan, Karima memiliki waktu khusus untuk berbincang
bersama Kiai yang dipanggilnya Pak De itu. Kiai Hadziqa termasuk sosok yang
unik. Ia menyukai filsafat sejak muda.
Ketika ia belajar di beberapa pesantren
puluhan tahun lalu, disamping mempelajari ilmu-ilmu pesantren seperti nahwu
(bidang tata bahasa Arab), Tafsir, Hadis, dan lain-lain, ia sangat menyukai
pelajaran logika. Pun, kampus akademos sebenarnya adalah gagasan idealis dari
Kiai Hadziqa Faqih.
Tidak mengherankan jika program studi yang banyak diminati
oleh para mahasiswa adalah filsafat. Banyak pula yang mengidolakan sosok Kiai
sebagai figur Idolanya, termasuk juga Karima.
Selain
itu ada juga Qanita, sahabat baik Karima sejak kecil. Dia berasal dari desa
yang sama dengan Kiai Hadziqa, mungkin itu juga yang membuatnya terpilih
menjadi ibu lurah pesantren (ketua organisasi pesantren). Karima dan Qanita
berada di kelas yang sama, dengan prodi Filsafat Islam.
Tokoh ketiganya adalah
Ikhwan, yang juga pemeran utama dalam novel ini. Ia adalah sosok yang
sederhana, dan pantang menyerah dalam keilmuan. Sejak pertama kali bertemu
dengan Karima, Ikhwan sudah jatuh hati kepadanya.
Namun apa daya, ternyata saat
itu Karima telah menjalin hubungan dengan seorang hafidz dari prodi yang
berbeda dengannya. Namanya Fauzi, ketua DEMA (Dewan Eksekutif Mahasiswa) kampus
Akademos. Dengan postur tubuh yang tinggi bahkan berkulit putih, tak heran jika
Fauzi menjadi idola bagi para mahasiswi.
Meskipun
begitu, cinta Karima bukanlah cinta buta sebagaimana gadis-gadis seusianya.
Cinta Karima lebih bernuansa filosofis sekaligus agamis, bukan cinta erotis.
Maka ketika sosok Fauzi ini melakukan perbuatan yang menurutnya salah, Karima tetap
menyalahkannya dan mengikuti apa yang menurutnya benar.
Cinta
filosofis dibuktikan dengan adanya kontrol-kontrol rasional dalam
berkomunikasi. Cinta filososfis selalu melandaskan pada kejujuran dan kebenaran.
(Cinta Filosofis, hlm. 187)
Walau
Karima mencintai Fauzi, tetapi ketika Fauzi akan melakukan demonstrasi untuk
menurunkan Pak Hakim---dosen filsafat kampus akademos. Karima langsung
menentangnya.
Menurutnya, alasan Fauzi dan kelompoknya itu tentu tidak
filosofis. Hanya karena Pak Hakim memberikan nilai C---yang menandakan
ketidaklulusan bagi para aktivis yang tidak hadir dalam kelasnya, bukan berarti
killer. Karima menjelaskan, bahwa
menghadiri kelas adalah syarat formal dari perkuliahan.
Jika mencari ilmu lain
ketika jam itu, maka harus berani mengambil resiko untuk tidak mendapatkan ilmu
di kelas. Sudah seharusnya juga mahasiswa menghargai dosen yang telah
meluangkan waktunya untuk mengajar. Inilah salah satu bukti cinta filosofis
Karima.
Karakter
cinta filsosofis yang pertama adalah diawali dengan alasan-alasan yang tidak
bersifat fisik seperti postur tinggi, putih, gagah, rambut lurus dan lain-lain.
Cinta filosofis mengutamakan alasan-alasan non fisik seperti pintar, bijaksana,
tidak emosional, berorientasi masa depan, dan mengedepankan etika dalam
berkomunikasi.
Kedua, cinta filososfis menggunakan standar kebenaran dan
kejujuran dalam berkomunikasi. Kebenaran yang digunakan adalah kebenaran agama
dan kebenaran filosofis yaitu kebenaran koherensi, korespondensi, dan kebenaran
pragmatis. Kebenaran koherensi adalah kebenaran yang dibuktikan dengan
konsistensi dan kesamaan satu pernyataan dengan pernyataan yang lain.
Selanjutnya,
kebenaran korespondensi ditandai dengan kesesuaian kata, kalimat atau
pernyataan dengan kenyataan atau faktanya. Terakhir, adalah kebenaran
pragmatis. Dimana Karima selalu menjaga jarak dan tidak sering bertemu maupun
mengobrol jika tidak ada kepentingan. Maka ketika Fauzi sudah tidak lagi sesuai
dengan kebenaran dan kejujuran yang ia jadikan sebagai komitmen itu, Karima
langsung memutuskannya.
Disisi
lain, keserasian antara Karima dan Fauzi, membuat Ikhwan cemburu sejak awal,
dan membuatnya berfikir bahwa ia tidak sebanding dengan Karima. Maka sejak ia
tau hubungan antara Karima dan Fauzi, Ikhwan kemudian merenungkan segala hal
yang membuatnya mulai berubah.
Ia mulai melupakan sesuatu yang tidak seharusnya
ia pikirkan. Fokus dengan kuliah, fokus dengan kajian-kajian kitab yang
diadakan di pesantren, juga fokus memperbaiki diri.
Hari
demi hari berlalu, waktu terus berputar tanpa henti. Ternyata sudah hampir empat
tahun sejak demontrasi itu terjadi. Karima, Qanita, dan juga Ihkwan lulus
dengan mendapat gelar camlaudge di
ijasah mereka. Kiai Hadziqa memanggil ketiganya seusai wisuda untuk menemuainya
di kantor.
Siapa sangka, ternyata Pak De menjodohkan Karima dengan Ihkwan yang
sejak semester pertama menjadi sosok santri yang dipercayai olehnya. Ihkwan
pada awalnya mengira, mungkin Tuhan mempunyai rencana lain tentang siapa jodohnya.
Tetapi ternyata benar.
Doanya tak pernah sia-sia. Karena dengan mencintai Sang
Maha Segalanya lebih dulu, Ia akan mendatangkan cinta terbaik bagi siapapun
yang beriman.
Kiai
Hadziqa juga memberikan amanah kepada Karima dan Ihkwan untuk mendirikan sebuah
pesantren di daerah asal Karima. Daerah yang memang masih sulit mencari
sekolah, tempat mengaji, bahkan untuk pergi dari satu desa ke desa yang lain.
Cita-cita
mulia yang diberikan oleh Pak De kepada keponakannya yang terpercaya menjadi
akhir dari cerita. Pesantren itu akhirnya berkembang pesat. Dengan didukung
oleh para alumni pesantren Nurul Azhar sebagai pengajar, menambah kepercayaan
masyarakat kepada pesantren tersebut.
Novel
ini dikemas dengan begitu sederhana, bahasa yang mudah dipahami, juga alur
cerita yang unik. Melibatkan materi-materi filsafat juga bagaimana cara
memandang agama sekaligus cinta. Lalu,
apa yang spesial dari filsafat? Karima berkata bahwa dengan filsafat….
“Aku
lebih bijaksana. Tidak cepat-cepat menyalahkan orang lain. Lebih penting lagi
Aku mulai sadar bahwa kehidupan itu tidak bisa dipaksakan untuk menjadi
tunggal. Tuhan telah mengaturnya demikian….” (Cinta Filosofis, hlm. 168)
Keterangan:
Judul
: Cinta Filosofis
Penulis : Iswahyudi
Penerbit
: Tera kata
Kota
Terbit : Yogyakarta, 2017
Tebal
Buku : 356 halaman
ISBN
: 978-602-74426-7-2
0 Comments