Masa pandemi membuat kita semua, hampir semuanya menghabiskan
waktu di rumah saja. Jika biasanya, kita dibuat sibuk dengan beragam aktivitas
yang membuat kita memerankan rumah hanya sebagai tempat singgah dan istirahat
sekejab, maka tidak untuk kali ini.
Work from home (WFH) menjadi salah satu anjuran dari pemerintah untuk memutuskan
rantai penularan pandemi dan hal itu otomatis membuat kita yang biasanya
melalangbuana dari pagi hingga petang, kali ini akhirnya menjadi penghuni tetap
di rumah. Rumah kembali mendapatkan momentumnya untuk menjadi rumah yang
sebenarnya.
Dalam masa seperti ini, saya cenderung seseorang yang mudah bosan
jika tidak mendapati hal baru dalam setiap harinya. Karena kebosanan itu akan
berujung dengan hal yang tidak baik, misal merengek-rengek kepada suami untuk
diajak ke sana ke mari dan hal itu cukup membahayakan, maka saya mulai menengok
rak buku. Ada beberapa buku yang sudah saya beli dan belum sempat dibaca.
Maka, mengapa tidak menghabiskan waktu dengan melahapnya satu demi satu?
Buku pertama yang saya ambil adalah buku Fundamentals of English
Grammar karangan Betty S. Azar dan Stacy A. Hagen. Buku itu memberikan banyak
sekali materi grammar sekaligus latihan. Saya memafhumi bahwa saya masih belum
tajam dalam bidang ini, meski saya lulusan magister Tadris Bahasa Inggris.
Jika
kelak menginginkan kemahiran dalam tes TOEFL atau IELTS dengan hasil yang
memuaskan, maka saat ini adalah momentumnya. Ada beberapa buku yang memang khusus saya beli untuk mengasah
ketajaman IELTS, karya Barron. Hanya saja, memang saat ini saya ingin
merampungkan terlebih dahulu buku Grammar Fundamentals ini.
Bahasa Inggris, sepaham saya jika tidak sering diasah dengan
sering membaca buku, latihan soal, dan menulis akan sulit untuk dikuasai.
Membaca karya ilmiah, novel atau buku-buku lain berbahasa Inggris secara
otomatis akan memperkaya wawasan dan vocabulary, sehingga
produksi vocab bukan hanya itu-itu saja, melainkan
bervariatif.
Dan jika mungkin dahulu saya sering berdalih sibuk, maka saat ini
tidak ada alasan untuk itu meski memang ada kewajiban mengajar kelas daring
untuk beberapa hari. Maka, pandemi membuat saya berhasil melakukan pendekatan
terhadap Betty S. Azar dan Barron.
Buku kedua yang saat ini sedang saya cicil adalah karya novelis
Indonesia, Kang Abik, dengan judul karyanya, Api Tauhid. Ada beberapa hal di
dalam buku itu yang membuat saya merinding. Seperti seolah-olah, Kang Abik
mengajak kita untuk menyaksikan langsung bagaimana Badiuzzaman Said Nursi
berjuang untuk menegakkan Islam di tengah masyakarat yang sekuler, terutama
ketika terjadi pergolakan politik di Turki, juga sebab imbas dari Perang Dunia
I.
Beliau adalah seorang ulama yang mahir dalam bidang ilmu agama dan
ilmu sains. Ada kalimat beliau yang saya jadikan pedoman, yakni “Cahaya kalbu
adalah ilmu-ilmu agama, sementara sinar akal adalah ilmu sains. Dengan
perpaduan antara keduanya, hakikat akan tersingkap. Adapun jika keduanya
dipisahkan, maka fanatisme akan lahir pada pelajar ilmu agama dan skeptisisme
akan muncul pada pelajar ilmu sains.”
Seperti novel-novel beliau sebelumnya, Kang Abik menyisipkan
banyak sekali mutiara hikmah yang didapat dari kitab-kitab karangan ulama di
dalam karyanya. Sejak 2007, saya adalah penggemar karya beliau, yakni novel
beliau pertama yang saya baca, Ayat-ayat Cinta. Karya tersebut membuat saya
terus mengikuti karya beliau lainnya, KCB 1, 2, Bumi Cinta, dan lainnya. Buku
itu masih saya cicil, setiap hari, belum rampung. Sebab memang terdapat 587
halaman.
Karya lain yang sudah saya rampungkan selama masa pandemi ini
adalah karya Ihsan Abdul Quddus, salah seorang sastrawan Mesir, mantan advokat,
jurnalis dan wartawan beberapa media massa di Mesir. Judul karya beliau yang
saya baca adalah Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan.
Kegalauan yang saya alami sebagai seorang perempuan dalam
menempatkan diri di tengah kecamuk ambisi, karier dan cinta mendapatkan
pencerahan tatkala saya sudah melumat habis buku ini. Suad, tokoh perempuan di
dalam buku itu adalah sosok yang mulanya memiliki beberapa kesamaan dengan saya
dalam bagian ambisi dan karier.
Namun sayang, Suad lebih mementingkan itu semua
dibanding dengan cintanya, sehingga Suad seperti menafikan sisi
keperempuanannya sebagai seorang istri dan ibu. Memang boleh memiliki ambisi sedemikian rupa sebagaimana Suad,
namun untuk apa jika segala keagungan duniawi sudah berada di genggaman, namun
hidup hanya dibayang-bayangi kesendirian, tanpa cinta yang mengiringi.
Membaca karya Ihsan Abdul Quddus akhirnya membuat saya mafhum dan
berani mengambil keputusan besar dalam hidup. Saya akan berkarier, namun saya
juga akan menempatkan keluarga dalam posisi sederajat dengan karier dan ambisi
saya. Keduanya harus mampu seimbang, terlebih, saya menduduki posisi sebagai
istri dan ibu, posisi vital dalam keharmonisan dan kesejahteraan dunia keluarga.
Buku keempat yang sedang dalam proses membaca adalah novel Kala.
Saya sangat tertarik dengan bahasa sastrawi yang terdapat dalam novel tersebut.
Disebutkan bahwa ‘kita adalah sepasang luka yang saling melupa’.
Tokoh Lara dan Saka dalam novel tersebut saling tumpang
tindih, interchangeable dalam memosisikan sudut pandang orang
pertama, pelaku. Karena gagal paham dengan gaya bahasanya, saya akhirnya
memutuskan untuk memberi jeda terlebih dahulu.
Buku kelima yang saat ini menemani saya adalah karangan bapak
linguistik dunia, John R. Searle, Rationality in Action. Buku ini berbahasa
Inggris, salah satu buku yang menjadi nutrisi dalam berbahasa Inggirs, selain
karena ditulis oleh native speaker, buku ini juga memuat filosofi bagaimana
berpikir secara rasional.
Saya masih berada di tahap di mana berpikir rasional
yang dimiliki manusia memiliki perbedaan dengan cara berpikir simpanse dan
hewan lainnya.
Sebenarnya tujuan saya membaca buku ini adalah sebagai pengantar
untuk memahami pemikiran beliau dalam karya beliau yang lain, yakni Expression
and Meaning, Mind: A Brief Introduction, The Philosophy of Language, dan Speech
Acts.
Terkait judul tesis yang saya ambil, seharusnya memang buku-buku
tersebut sudah rampung diselesaikan untuk membantu proses analisis dan
ketajaman berpikir. Namun karena perihal yang lain, buku tersebut masih berada
dalam proses membaca. Meski saya tahu terlambat, tapi dalam belajar tidak ada
istilah terlambat.
Beberapa judul tersebut adalah buku yang sudah menemani saya dalam
masa pandemi ini. Meski saya mafhum, masih sangat sedikit jika dibandingkan
dengan predator buku yang lain jika dinilai dari segi kuantitasnya. Oleh sebab
posisi saya saat ini sebagai ibu rumah tangga, menantu, pendidik, akhirnya
waktu untuk membaca mengalami pengurangan.
Saya juga tidak menjamin, jika banyak waktu luang mampu saya
dayagunakan sebagai aktivitas produktif untuk membaca, sebab di luar sana,
meski orang-orang besar disibukkan dengan beragam hal, namun beliau-beliau
masih membaca, bahkan masuk dalam kategori pembaca dan penulis yang sangat luar
biasa.
Dan hal tersebut merupakan pilihan yang kita juga bisa memilihnya. Terlebih memanfaatkan masa-masa pandemi seperti sekarang ini, yang
mungkin melelahkan dan menjemukan kita harus tinggal di tempat. Membaca bisa
membuat kita ke masa dan tempat yang berbeda, ketika kita harus tetap tinggal
di mana kita berada.
Saya ingat nasihat dari Dr. Ngainun Naim, jika ingin mengalami
transformasi hidup, maka mari berliterasi, banyak-banyak membaca dan meproduksi
tulisan. Sesungguhnya tidak ada waktu sibuk dalam belajar, ini hanya tentang
prioritas.
loading...
0 Comments