by. Zidna
Nabilah
Apakah kalian masih ingat
dengan buku Marketing 4.0? Ini adalah salah satu buku menarik lainnya dan
sangat recomment jika dijadikan rujukan sebagai buku
marketing zaman now. Buku “Fish Eye” ini menawarkan cara
pandang baru dalam melihat peluang dan masalah di dunia bisnis, kreativitas,
dan kemasyarakatan.
Buku karya Handoko
Hendroyono ini memberikan warna unik dalam dunia marketing, dimana ia
menggunakan banyak ilustrasi dan gambar yang bernilai estetika. Nilai lebih
lainnya juga berasal dari penjelasan setiap sub, ia mengemas sudut pandang
dengan unik disertai pengalaman pribadinya dan bahasa sederhana yang kekinian
sekaligus tidak bertele-tele.
Sosok yang dikenal sebagai creative storyteller dan content creator ini membagi pembahasan buku ini menjadi 3 bagian, yaitu momentum; movement; dan participation.
Diawali dengan pembahasan,
kita akan diajak untuk menyadari di zaman seperti apa kita berada. Tidak
lain adalah zaman update, dimana update menjadi kewajiban baru
saat ini, bahkan mungkin akan menjadi hal yang sakral di waktu mendatang. Wabah
rutin update membuat informasi yang bersifat testimoni
berseliweran dengan cepat bahkan hingga jutaan tiap hari.
Saking berlimpahnya informasi,
yang kebanyakan bersifat personal dari seluruh dunia itu, hingga sudah mencapai
seperti gunungan sampah.
Oleh karenanya, penulis mengajak kita untuk mengenal
faktor penting untuk menjadi update. Yaitu authentic,
fresh, dan outstanding, juga satu hal lagi yang akan
membuat informasi tentang sebuah brand dilihat, yaitu
“momentum”: situasi dimana informasi yang kita sampaikan menjadi relevan dan
bermanfaat bagi banyak orang.
“Momentum is really about how you build on phenomenon and keep it moving forward”. (Warren Berger-Hoopla)
Setelah mendapatkan
“momentum”, maka mari bekerja sebagai creative addict. Di zaman
ini, sudah saatnya kita bisa menjadikan “inovasi” sebagai “addict”; masyarakat
yang “creative addict” atau “solution addict”. Mengubah
“gossip addict” menjadi “creative addict” akan menjadi
solusi di masa depan, tentunya dengan sharing info;
kolaborasi; dan co-creation akan mendominasi pembicaraan warga
di media.
Namun, tak bisa dipungkiri
juga bahwa prinsip paradoksal zaman informasi ini yaitu “Less is More” ada
benarnya juga. Karena yang sedikit, unik, dan otentik jadi sangat berharga.
Ketika brand bisa lebih bersifat “open for public”, tentu
hal itu juga akan menggugah hati konsumen untuk sukarela datang ke brand mereka.
Selain itu, sudah waktunya untuk semakin yakin bahwa story yang
kuat dan kemampuan menangkap perubahan masyarakat merupakan syarat agar produk
kita bisa selalu njamani, dan tidak ditinggalkan pelanggan.
Kemudian kita berlanjut
membicarakan topik yang kedua, yaitu movement. Hal yang dibicarakan
di bab ini, diawali dengan brand as a movement. Dimana belakangan
ini banyak brand atau personal brand yang
memiliki semangat untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Salah satu
contohnya adalah yang dilakukan oleh Singgih Kartosono. Ia membangun dan
mengembangkan brand Magno Radio di Desa Kandangan, Kabupaten
Temanggung, hingga terkenal di penjuru dunia.
Magno Radio adalah
sebuah brand movement. Mereka banyak menyerap penduduk
sekitar, dengan patokan bertempat tinggal radius 1,5 km dari bengkel. Tak itu
saja, Magno Radio telah menanam hutan di daerah sekitar seluas 10 hektar,
sementara yang terpakai baru 0,5 hektar. Suatu bukti komitmen do
good terhadap lingkungan sekitar.
Magno Radio mendapat apresiasi dari banyak kalangan internasionl, bahkan produknya dipajang di MoMA (Museum of Modern Art). (halaman 94)
Melihat dari apa yang
dilakukan oleh Singgih Kartosono, menunjukkan bahwa kepekaan untuk memberi
solusi bagi masyarakat dalam bentuk social preneurship atau
lainnya ternyata begitu penting saat ini. Selain itu, gerakan memajukan
kualitas produk dan brand di Indonesia, terutama di
bidang fashion dan lifestyle, merupakan
“modal percakapan” yang kuat di era ini. Jika kita mampu merawat dan merancang
dengan baik, semangatnya akan menular, bahkan mampu menggerakkan hati dan
tindakan publik.
Handoko Handroyono yang
tidak lain adalah penulis buku ini, juga menyebutkan bahwa kita harus mampu
menjadi aktivis bagi brand yang telah dibuat. Bukan lagi toko
online penjual barang craft-kerajinan, tapi sebuah Etsy
Movement (barang yang unik), otentik, menggerakkan hati publik dan
merupakan wujud dari sebuah solusi. Brand kini harus memiliki sense of
urgency sehingga relevan dengan berbagai masalah di planet ini.
Kenapa brand harus menjadi aktivis? Ya, karena kita harus membangun relevansi, yang akhirnya mampu menggerakkan komunitas, yang mungkin menjadi “believers” Movement tersebut. (halaman 98)
Di Indonesia juga tidak
kekurangan adanya generasi hipster, mereka yang dinamis; intuitif;
penuh inisiatif; dan mengerjakan karya sesuai panggilan hati. Kita memiliki
generasi yang sangat berkarakter dan sumber daya melimpah, sudah pastilah
Indonesua memiliki potensi yang besar untuk bisa dikenal hingga mancanegara.
Oleh karena itu, mari mulai
melihat segala sesuatu dari kacamata kreatif. Karena zaman telah berubah, dan
semua orang berhak kreatif dengan apapun latar belakang sosial maupun
pendidikannya. Dengan dia sekolah administrasi, public relation, atau
akuntansi, sejauh karyanya keren dan unik, ya sah-sah saja.
Berlanjut membuka pintu
ketiga, yaitu participation. Bab ini diawali dengan kesadaran
bangsa Indonesia yang masih saja menjadi bangsa konsumen, itulah kenapa kita
harus bekerja lebih keras untuk bertransformasi menjadi bangsa produsen. Bukan
karena kita tidak memiliki skill, namun mental kita yang
masih amburadul.
Banyak peristiwa yang “tidak
penting dan tidak menginspirasi” justru digemari dan ditonton orang. Kecelakaan
di jalan, perselingkungan majikan dengan pembantu, maling ditangkap massa,
suami yang bertengkar dengan istri, atau mungkin kejadian anak SMA hamil diluar
nikah.
Kita seperti terbiasa “menertawakan” atau “terhibur ketika orang lain sengsara”. Kita seperti tidak memiliki etika untuk menyampaikan rasa prihatin atau sekedar menyampaikan “sorry” saat orang lain sedang tak beruntung. Justru sebaliknya, merasa terhibur. (halaman 146)
Hal-hal negatif sering
mendominasi kita dibanding hal-hal yang positif, kita juga masih saja nggumunan-suka
kagum dengan bangsa lain, tapi tak mengapresiasi kemampuan sendiri.
Membicarakan tentang kultur partisipasi, sebenarnya tanpa sadar kita semua
adalah participant. Media sosial seperi facebook, twitter,
bahkan whatsapp sekalipun menjadikan kita sebagai “an independent producer” yang
menciptakan content-nya sendiri.
Kultur partisipasi atau kultur produsen adalah peluang kebaikan, seperti kata George Bernard Shaw: Life isn’t about finding yourself. Life is about creating yourself. (halaman 160)
Daripada kita nyampah dengan
tulisan-tulisan pendek yang entah apa manfaatnya, lebih baik ciptakan
tulisan-tulisan pendek yang lebih berguna. Tulisan-tulisan yang mencuri
perhatian, melekat di otak, mengalir dengan jujur, serta menebar daya guna
karena penuh ide. Awali pula segala sesuatu dengan berfikir positif, karena ia
adalah awal baik kita untuk menuju kebermanfaatan.
Semua orang juga merupakan
seorang publisher-penayang, sekarang ini juga telah terbuka lebar
peluang bagi siapapun untuk menjadi produsen informasi. Kita tidak bisa memetik
hasil tanpa berpartisipasi terlebih dahulu. Berkarya dahulu baru
menghasilkan, bahkan ini yang terjadi bagi figur-figur orang atau brand yang
sudah mapan dan punya nama.
Pembahasan yang disuguhkan
oleh penulis sungguh menarik dan tidak membosankan, namun ditengah proses
membaca kalian akan menemukan sejumlah kata atau brand asing
yang disebutkan atau diceritakan oleh sosok Handoko ini. Walaupun begitu, kata
atau sebutan yang digunakan adalah bahasa trend-kekinian, jadi akan
mudah dicari terkait pengertian dan maksud bagi pembaca yang masih asing dengan
kata-kata tersebut.
Keterangan :
Judul : Fish Eye
Penulis : Handoko
Hendroyono
No. ISBN : 9789799108630
Penerbit : KPG
Tahun Terbit : Oktober
- 2015
Jumlah Halaman : 214
Berat : 500 gr.