Keniscayaan didunia
ini adalah adanya perubahan–pasti akan terjadi dan tidak mungkin
dihentikan. Semua perubahan disebabkan karena kebutuhan manusia itu sendiri
untuk berkembang dan mencari solusi akan adanya masalah yang setiap waktu juga
berubah. Semua solusi dibutuhkan, tentunya hasrat manusia menginginkan
kehidupan yang lebih baik dari masa-masa kelam yang sudah terlampaui tidak akan
terulang kembali di masa depan. Semua solusi dan tawaran penyelesaian
permasalahan manusia tidak akan berhenti begitu saja, karena masalah akan ikut
berkembang mengiringi peradaban manusia berikutnya.
Disinilah peran manusia
untuk menjalani kehidupannya didunia, sebab masalah juga akan berkembang
mengiringi manusia yang juga mengalami perubahan pada setiap peradabannya,
sebab itulah manusia terus berevolusi hingga saat ini.
Mungkin hanya manusia yang mampu beradaptasi, menyesuaikan diri
mengikuti perubahan zaman yang dapat bertahan hidup, tidak punah atau mati.
Konsep ini dikenal sebagai survival of the fittest.
Manusia memiliki super-power yang membedakannya dengan mahluk (Bagi ilmuan sains disebut spesies) lain di planet Bumi ini – yaitu kemampuannya untuk berkhayal.
Dalam buku Sapiens, Harari
pertama kali memperkenalkan kita dengan konsep Narasi Bersama “shared
fiction”. Narasi bersama merupakan alat penting dimana satu kelompok atau
masyarakat dapat menyepakati suatu konsep atau benda abstrak dan tidak-wujud
sebagai realitas yang diterima bersama-sama. Konsep ini dapat berupa agama,
sistem politik, ideologi, teori ekonomi, mata uang sampai ke konsep badan hukum
korporasi atau negara-bangsa “nation-state”. Atas dasar narasi
bersama ini lah, manusia dapat saling bekerjasama, membangun peradaban atau
saling berperang dan memusnahkan satu dengan yang lain.
Perubahan evolusi manusia
ini di karenakan kebutuhan manusia itu sendiri untuk mampu mempertahankan
hidupnya, hingga sampai manusia menyadari super-power itu mampu menciptakan
peradaban yang baru untuk seluruh kehidupan manusia di atas permukaan bumi ini.
Selayaknya yang sudah diketahui oleh seluruh manusia sekarang peradaban
teknologi, dimana manusia mengalami ketergantungan penuh terhadap alat digital
atau sering disebutkan oleh berbagai pakar sains, alat digital merupakan
kecerdasan buatan manusia yang berfungsi mempermudah dan memanjakan manusia
untuk kepentingannya.
Menelaah kembali ungkapan penulis fenomenal Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century, “Peradaban manusia sedang mengalami ledakan teknologi sejak berapa abad yang lalu dan masih berlangsung sampai sekarang”. Maka sungguh sulit membayangkan masa depan, apa yang terjadi di dunia pada tahun 2035, 2050 atau 2100 dan seterusnya.
Setiap manusia bisa saja mencoba
memprediksi masa depan dengan melihat tren pengembangan teknologi masa kini –
seperti big data, kecerdasan buatan dan rekayasa genetika. Tetapi abad 21
membawa tidak hanya perubahan-perubahan besar tetapi juga tantangan-tantangan
yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kita tidak hanya bicara tentang
konsep-konsep spekulatif seperti singularitas teknologi, keabadian dan upload
nyawa, tetapi juga perubahan iklim dan pemanasan global, perang siber,
dan senjata pemusnah massal. Maka kita mungkin akan melihat dunia di tahun 2100
dengan sama terheran-herannya seperti leluhur kita yang hidup di abad 1 melihat
teknologi di abad 21.
Dari ungkapan tersebut bukan
kegalauan futuristik Yuval Noah Harari saja yang ingin disampaikan, tetapi solusi
akan adanya perubahan peradaban manusia di masa depan. Disini Yuval mencoba
membaca arah masa depan manusia berdasarkan sejarah manusia dahulu sampai
perubahan yang terjadi di masa sekarang hingga perubahan akan terjadi lagi di
masa yang akan datang. Namun, pada dasarnya manusia tidak mampu menjamin arah
kehidupan yang akan datang itu benar-benar terjadi, sebab manusia hanya bisa
berusaha untuk mempersiapkan diri akan telaah tanda perubahan disetiap
peradaban manusia.
Ditengah perubahan tanpa
henti dan perkembangan teknologi yang sedemikian cepat ini, tidak semua mampu
beradaptasi. Otak manusia, sayangnya, adalah produk era berburu-mengumpul. Otak
manusia tidak banyak berkembang sejak 10.000 tahun yang lalu, masih terjebak
dalam naluri dan insting primitif yang mungkin di saat itu perlu untuk bertahan
hidup, namun sudah tidak relevan pada era globalisasi dengan kebebasan
informasi dan kebebasan manusia serta barang “free movement of information
and free movement of people & goods”.
Dalam Pandangan Yuval Noah Harari, Abad 21 tidak hanya memiliki kemajuan dan perkembangan teknologi lewat Google, Apple, Tesla dan SpaceX, atau Large Hadron Collider dan International Space Station. Abad 21 juga memiliki ISIS dan Al Qaeda atau ekstrimis kanan Eropa, gerakan anti-migran, kaum Bigot dan penganut flat earth, Brexit dan Gerakan Lain, yang saat ini menjadi isu besar di Indonesia yakni Gerakan keonaran radikalisme dan fanatisme.
Fenomena bangkitnya
radikalisme dan fanatisme ini sebenarnya sudah menjadi topik bahasan dan bahan
kajian dari banyak pakar di berbagai negara terutama di Indonesia.
Kebanyakan Masyarakat awam menyalahkan agama dan ideologi sebagai sumber
radikalisme dan fanatisme. Ada lagi yang menyalahkan masalah sosial seperti
imigrasi yang tidak terkendali atau kesenjangan sosial.
Beberapa pakar menganggap
penjelasan-penjelasan Masyarakat awam tersebut tidak menyentuh akar,
dan berusaha menyusun penjelasan yang lebih canggih. Misalkan Huntington,
memiliki tesis terkenal yang disebut sebagai clash
of civilization – tesis benturan peradaban, Menurut Huntington,
radikalisme dan fanatisme merupakan hasil dari benturan berbagai ide dan faham
dalam dunia global yang semakin sempit dan terus mengecil.
Sedangkan Ilmuwan
politik Amerika, Fareed Zakaria dalam penelitiannya, menjelaskan
bahwa terorisme, radikalisme dan fanatisme bersumber dari tersumbatnya
katup-katup demokrasi dan kebebasan, terutama di bawah kekuasaan rezim-rezim
otoriter dan represif seperti di negara-negara Timur
Tengah. Menurut Zakaria, hanya orang frustrasi dan putus asa yang
memasang sabuk bom ke badannya lalu meledakan dirinya di tengah kerumunan
banyak orang.
Berlandaskan bukti pada
penelitiannya, Zakaria menawarkan pemecahan masalah tersebut salah
satunya dengan cara rezim-rezim otoriter itu harus ditumbangkan dan pintu
demokrasi serta kebebasan harus dibuka sebesar-besarnya di Timur Tengah. Tetapi
diantara berbagai penjelasan tersebut, ada penjelasan lain yang lebih menarik –
kaum radikal dan fanatik itu sesungguhnya adalah orang-orang yang galau.
Runtuhnya narasi bersama dihadapan perkembangan zaman akan membuat banyak orang mengalami kebingungan dan disorientasi. Sementara disisi lain mereka belum menemukan narasi bersama yang baru, yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Sebagian dari mereka akan mencoba beradaptasi dan berubah mengikuti perkembangan zaman. Tetapi ada sebagian lagi, berusaha kembali ke akar budaya, sejarah, nasionalisme atau keyakinan mereka untuk mencari pegangan. Kelompok ini seringkali disebut sebagai kaum nostalgist.
Kaum nostalgist ini punya
satu ciri khas-merindukan kenangan dan kejayaan di masa lalu, menurut kaum
nostalgist salah satu cara menghadapi pergulakan dan kekacauan akan adanya
masalah dimasa sekarang, dan dimasa yang akan datang yaitu kembali ke masa lalu
dan menolak perubahan. Mereka merasa terasing dan tersingkir berhadap dengan
perkembangan teknologi dan kemajuan zaman.
Mereka berlomba-lomba
kembali ke-zaman dulu yang mereka anggap lebih nyaman. Beberapa dari mereka
membenci perubahan dan benci terhadap kelompok yang lain yang berbeda. Pola ini
berasal dari naluri primitif otak manusia yang masih bersifat tribal, dimana
dunia bersifat hitam-putih, salah-benar, kami-melawan-mereka “us vs
them”.
Sekali lagi mengutip buku
Yuval Noah Harari “21
Lessons for the 21st Century” memberikan ilustrasi menarik tentang
kaum nostalgist ini, bagaimana para pendukung Trump ingin Amerika kembali ke
tahun 1950an, make
America great again! Kata mereka. Di seberang lautan Atlantik, kaum
nasionalis Rusia ingin kembali ke zaman kekaisaran sebelum revolusi Bolshevik
di awal abad 20. Dan para pendukung Brexit ingin Inggris kembali ke era
isolasionis di zaman Ratu Victoria. ISIS ingin Timur Tengah balik 1.400 tahun
lalu. Sedangkan yang tidak kalah menariknya dari kaum nostalgist
yaitu kelompok Yahudi radikal yang ingin mendirikan Bait Suci dan balik ke
2.500 tahun lalu.
Tetapi pada akhirnya, kaum
nostalgist tidak lebih dari kelompok reaktif yang tidak dapat memberikan solusi
apapun. Nostalgia mereka tidak lebih dari pelarian belaka. Perubahan iklim
tidak akan dapat diatasi kebijakan anti-imigran model Trump. Teknologi
kecerdasan buatan tidak akan mampu dikejar dengan mendirikan Khalifah dan balik
ke 1.400 tahun lalu seperti yang dilakukan ISIS. Hanya yang mampu beradaptasi,
menyesuaikan diri mengikuti perubahan zaman yang dapat bertahan hidup, tidak
punah atau mati. Inilah hukum yang pertama dan terutama, the survival
of the fittest.
Dari sekian banyaknya
tragedi didunia ini, pada dasarnya yang menjadi sebuah permasalahan utama salah
satunya ialah kesiapan dan kurang siapnya manusia untuk menghadapi permasalahan
yang sekarang ini manusia hadapi. Sehingga solusi yang didapatkan tidak untuk
melampaui peradaban manusia yang sekarang ini.
"survival of the fittest, sebuah konsep dimana manusia mempertahankan hidupnya dengan beradaptasi, menyesuaikan diri mengikuti perubahan disetiap peradaban."