Sore ini, senja
begitu indah. Terlihat anggun mempesona bak mentari yang baru muncul dari
surga. Begitu jelas pepohonan rindang yang menyejukkan hati, mengusap dahaga di
sore hari. Sang surya yang baru saja kembali ke peraduannya, menambah elok
pemandangan ala surgawi.
“Nisa, ayo kita
ngumpul, acaranya udah mau mulai nih!” seru Putri dari belakangku sembari
menepuk punggungku yang tengah memandangi senja.
“Eh, iya, ayooo!”
“Suara riuh mereka
sama sekali tak membuatku nyaman. Sungguh, aku tak suka keramaian”, gerutuku
dalam hati.
“Selamat sore
teman-teman, baiklah pada sore ini kita akan melakukan persiapan untuk
pendakian di Gunung Budheg yang akan kita laksanakan nanti malam tepat pukul
tujuh.”
Ya, hal itulah
yang paling ditunggu-tunggu para mahasiswa yang mengikuti kegiatan ini, termasuk
diriku yang sudah lama ingin merasakan indahnya pemandangan ala surgawi. Semoga
saja hal ini dapat membuatku melupakan masa lalu, tentang sosok dia yang
membuatku terbelenggu dalam sesaknya rindu. Tentang sosok dia yang membuatku
terpenjara dalam harmoni kenikmatan cinta yang semu.
Benar saja, tepat
pukul tujuh malam, pendakian itu dimulai. Semua mahasiswa berbaris rapi dengan
sebuah jaket tebal dan backpack mereka yang berisi air mineral, snack,
mie instan, dan keperluan pribadi. Sungguh, aku tak ingin melewatkan sedikit
pun momen ini. Momen di mana aku ingin mengisi kekosongan hati dengan menikmati
indahnya sunrise yang akan muncul esok hari.
Sedikit demi sedikit
aula Gunung Budheg itu menghilang dari pandangan. Udara malam yang membelai
kulit terasa begitu dingin, namun nikmat untuk dirasakan. Pemandangan malam
dengan gemerlap bintang dan rembulan menghiasi langkah kami menuju puncak
penantian. Jalanan yang sedikit terjal dan berkelok menambah kemesraan bagi
mereka yang sedang menikmati kasmaran.
“Brug! Au,
sakiiittt!,” teriakku sambil meringis kesakitan.
Aku tak menyangka,
kali ini aku tersandung batu yang terhampar tepat di hadapanku. Mungkin karena
aku masih menyibukkan diriku untuk menikmati indahnya pemandangan yang sedang
kurasakan saat itu.
Tiba-tiba saja,
uluran tangan muncul di hadapanku. Tanpa berpikir panjang, kuraih tangan yang
terasa lembut itu. Entah siapa gerangan sang pemilik tangan tersebut. Kucoba
untuk memberanikan diri menatap wajahnya lekat-lekat. Tanpa terasa, jantungku bergetar
begitu kencang. Tatapan matanya begitu elok meyejukkan. Senyuman manisnya pun
begitu menawan. Diriku serasa jatuh dalam buaian cinta yang mendalam. Oh Tuhan,
inikah nikmat cinta yang baru saja kau berikan untukku? Atau mungkin hanya
sekedar nafsu yang menjerat kalbu? Aku tak tau itu. Tapi semoga saja, memang
benar ini yang dinamakan cinta. Cinta yang dapat mengobati luka.
“Masih mau melamun
saja, ayo aku bantu berdiri.”
Suara itu
membuyarkan lamunanku. Menelisik kalbu yang telah lama terbelenggu dalam siksa
cinta yang semu.
“Aaahhhh,
sudahlah! Aku tak ingin terlalu menyibukkan diriku dalam urusan cinta. Kurasa
semua lelaki bersikap baik pada wanita hanya di awalnya saja. Namun pada
akhirnya, mereka akan pergi begitu saja dengan meninggalkan sejuta luka.” pikirku
dalam hati.
Perlahan-lahan aku
mencoba meraih tangan itu. Entah hal apa gerangan, diriku merasa nyaman saat
menyentuhnya. Kunikmati sejenak sentuhan itu hingga aku pun mulai mabuk dalam
suasana cinta yang semu.
“Astaghfirullaahal’adziim!”
ucapku sembari melepaskan tangan.
Aku sadar, dia
bukan muhrimku. Dulu, aku memang pernah menjalin sebuah hubungan, namun hanya
sekedar hubungan jarak jauh tanpa adanya pertemuan, apalagi sampai bersentuhan
tangan. Sungguh, sebenarnya bukan hal inilah yang aku inginkan. Namun apa daya,
nafsu terus saja mengelabuhiku agar aku mau menerima uluran tangan itu.
“Hei, kenapa kau melepaskan
tanganku?” tanya pria itu padaku.
“Maafkan aku, aku
bukan muhrimmu”, jawabku sembari mengalihkan tatapan.
“Andaikan saja kau
tau, sebenarnya aku pun tak ingin menodai tanganku sendiri hanya karena
mengulurkannya padamu. Namun, bukankah di dalam Islam kita dianjurkan untuk
menolong sesama, apalagi dalam keadaan yang darurat seperti ini? Bagaimana bila
kau terjatuh? Siapa yang akan menolongmu? Apa kau tak sadar bila kita sudah jauh
tertinggal dengan mereka?” jawab pria itu dengan nada kesal.
“Kuharap suatu
saat nanti kita akan bertemu kembali, karena aku hanya ingin menyentuh wanita
yang halal untukku”, lanjutnya sembari meninggalkanku dengan beribu makna
pernyataan itu.
Aku pun masih diam
terpaku di tempat itu. Sejenak kutatap rembulan yang tengah menari bersama sang
bintang malam. Aaaahhh, benar saja, malam ini begitu indah. Seolah-olah
rembulan dan bintanglah yang menjadi saksi betapa mesranya pertemuan kita ini.
“Semoga saja ini
memang pertanda yang baik,” pikirku dalam hati.
Kucoba untuk
bangkit kembali meski kakiku masih terasa sakit. Tiba-tiba saja diriku
menginjak sesuatu, entah apa itu. Aku berhenti sejenak, kuambil sebuah benda
berwarna coklat tua itu. Dan benar saja, sebuah dompet tebal bertuliskan Baellerry.
Benda itu sungguh membuatku penasaran, hingga perlahan aku pun memberanikan diri
untuk membukanya.
“Fahrizal Razqi
Akbar, ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia dan The Leader of Mapala
Himalaya,” ucapku sedikit terkaget.
Sungguh, aku tak
menyangka, pria itu adalah leader dari pendakian ini. Dia juga aktif
mengikuti berbagai oraganisasi kampus. Badannya yang tegap dan kulitnya yang
bewarna agak gelap, menambah kesannya sebagai lelaki yang tangguh dan
berwibawa. Apalagi senyumnya yang manis itu, sungguh, membuat hatiku terpikat
dalam pesona Arjuna.
Semenjak saat itu,
aku kembali terjerat dalam buaian rindu akan sosok pria itu. Sungguh, tatapan
matanya dan senyuman manisnya masih terbayang di benakku. Oh Tuhan, mengapa Engkau
pertemukan aku dengannya saat ini? Aku tak ingin pertemuan ini membuatku
terbelenggu dalam penjara rindu. Aku tak ingin pertemuan ini menjadikanku jauh
dari-Mu hanya karena sibuk merindui sosok pria itu.